Selasa, 27 November 2012

LAFADZ 'AM DAN KHASH

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lafadz ‘Amm
Lafadz ‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[1] Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya.[2] Para  ulama Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagaiberikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupu nmakna.(Al-Bazdawi:I:33)
2. Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang  dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
3. Menurut Albazdawi adalah lafadz yang mencakup semua yang  cocok untuk lafadz tersebut dengan satu kata.
2.2 Macam-macam ‘Amm
Ditetapkan dengan ketetapan nash bahwa ‘amm itu terbagi menjadi tiga:[3]
Pertama adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi’ umum. Yaitu ‘amm yang  didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditakhsiskan, seperti ‘amm yang  terdapat pada firman Alloh Swt :
وما من دابة فى الارض الا على الله رزقها
“Dan tidak satupun binatang yang  melata dibumi ini melainkan Allah memberi rizqinya. (QS.11:6).

وجعلنامن اماء كل شيء حي
Daripada air kami jadikan segala sesuatu yang hidup (QS.21:30)
Pada kedua ayat ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatulloh ada ‘amm yang tidak ditakhasiskan dan tidak pula dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat ini terdapat ‘amm qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang dimaksud khusus dengannya.
Kedua adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi khusus.Yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Seperti firmanAllah yang berbunyi:
ولله على الناس حج البيت
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS.3:97).
Manusia pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal, tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
Ketiga adalah ‘amm makhsus. Yaitu ‘amm mutlak yang  tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang  menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya kebanyakan nash yang  terdapat padanya  sighat umum. Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau arfiah yang  menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil yang mentakhsiskannya. Misalnya, perempuan-perempuan yang  ditalak oleh suaminya haru smenunggu (iddah).
2.3 .Dilalah Lafadz ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang  disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.[4]
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya dzanni.
Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-wadha’-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni.Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali. Selama  kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan hal in, ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada taksisnya, kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah yang berbunyi:
مامن عام الا وقد خصص
“Tidaklah ada (lafadz) yang umu kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.
2.4  Pengertian Lafadz Khas dan Takhsis
a.       Pengertian Khash
Khash merupakan lawan kata dari  ‘am. Oleh karena itu, jika pengertian ‘am sudah bisa difahami maka khash juga secara langsung sudah bisa difahami. Karena banyak para penulis yang tidak menguraikan ma’na khash secara defenitif.[5]
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut:
“Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.”[6]
Sedangkan defenisi menurut Al-‘Amidi ialah, sebagai berikut:
"هو اللفظ الواحد الذي لا يصلح لاشتراك كثير ين فيه"
Satu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
Definisi yang berbeda yang dirumuskan al-Khudahari Beik:
"هو اللفظ الذي وضع لمعنى واحد على سبيل الانفراد"
Lafadz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.[7]
Menurut defenisi yang dirumuskan oleh al-khudhari itu sama dengan murod pengertian dari Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf tadi, yakni ditentukan untuk satu satuan perorangan, kelompok , bahkan yang tidak terbatas.[8]
b.      Ketentuan Lafadz Khash
1.      Secara umum lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.[9]
2.      Jika dari lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
3.      Jika dalam suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz khash membatasi pemberlakuan ‘am.
4.      Bila ditemukan perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.[10]

b.   Takhshish
1.      Pengertian Takhshish
Dalam pembahasan ini kita sering menemukan kata-kata yang kaitannya erat sekali dengan Khash, Takhsish, Mukhashshish dan Makhshush. Pengertian takhsihsh menurut Drs. Moh. Rifa’i ialah, sebagai berikut:
“Takhsish artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk   dibawah lingkungan umum ketika tidak ada yang mentakhsihsh. Mukhashshish ialah a) orang yang mempergunakan takhshish; b) dalil yang dipakai takhsish. Makhsush ialah ‘am yang kena takhsish.[11]
Sedangkan defenisi menurut beberapa ulama ialah sebagai berikut;
-          Menurut Abdul Wahab:
التخصيص هو تبيين أن مرادالشارع من العام ابتداء بعض أفراده
Takhshish ialah penjelesan bahwa yang dimaksud oleh pembuat hukum tentang lafadz ‘am itu pada mulanya adalah sebagian afradnya.
-          Menurut Ibn Subki mengemukakan defenisi :
                                                               التخصيص قصر العام على بعض أفراده
Takhshish ialah membatasi lafadz ‘am kepada sebagian afradnya.[12]
2.      Dalil Takhshish
Dalil takhsish disebut mukhashshish atau sesuatu yang mentakhshishkan, mukhashshish itu terbagi menjadi dua macam : a) berbentuk nash (teks) dan 2) bukan dalam bentuk nash. Dalam hubungannya dengan lafadz ‘am, mukhashshish itu ada yang terpisah dengan lafadz ‘am  dan ada yang menyatu dengan lafadz ‘am. [13]
2.5 Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Para ulama ushul memberikan definisi muthlaq dengan berbagai definis, namun semuanya bertemu pada stu pengertian yaitu muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat suatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Kemudian muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya. [14]
Apabila kita selidiki secara seksama tentang keadaan tiap-tiap lafadz yang dipandang dari segi dibatasinya atau tidak lafadz itu, maka ada yang keadaannya bebas dan tidak dibatasi penggunaannya oleh hal lain (muqayyad). Hal-hal yang membatasi lafadz itu disebut Al-Qayd. Oleh karena itu, berbicara tentang muthlaq terkait pula masalah muqayyad dan Al-Qayd.
Kata muthlaq secara bahasa, berarti lawan muqayyad (tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu). Secara istilah, lafadz muthlaq didefinisikan sebagai lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
Contoh lafadz muthlaq dalam nash ( Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58 : 3 :

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan .
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat "maka merdekakanlah seorang budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah.
Contoh lafadz muthlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat al-Nisaa, 4: 43 :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf  lagi Maha Pemgampun.
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas dalam tayammum itu harus mengusap tangan dengan debu dan tidak dibatasi bagian mana saja asalkan bagian tangan. 
Dilihat secara sepintas lafadz muthlaq mirip dengan lafadz 'aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafadz 'amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafadz muthlaq bersifat badali (menggantikan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafadz ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini :
1. Firman Allah dalam surat Hud, 11 : 6 :

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafadz 'amm yang bersifat syumuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafadz ini umum karena bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman dalam ayat itu (menafikan sesuatu). Apabila lafadz 'amm pada ayat ini ditakhsis, bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman lafadznya. Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafadz ‘amm bersifat syumuli.
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:67:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
Dari ayat ini diketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafadz muthlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafadz muthlaq ini meliputi bermacam afrad. Apabila lafadz muthlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya, sebagai cakupan dari lafadz muthlaq tersebut, tidak berlaku lagi.
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, Syekh Al Utsaimin mendifinisikan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain". Sementara Firdaus mengutip pendapat Abdul Karim Zaidan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (Seorang laki-laki asal Irak), dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang beriman). 
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Firdaus dalam Ushul Fiqh bahwa: "pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya." Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa', 4:92 :

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu'minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yag membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89 :

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru boleh dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187 :

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal  (puasa sepanjang hari).
2.6 Hukum Muthlaq dan Muqayyad
Ø  Hukum Muthlaq
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash harus diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan sebagai muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah hukumnya wajib seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai ada dalil yang berbeda dengan dengan hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, muthlaq adalah qath'i al-dalalah. Misalnya surat al-Mujadilah, 58:3:

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur”.
Lafadz raqabah (budak) dalam ayat ini disebut secara muthlaq tanpa membedakan antara budak beriman atau kafir.
Adapun ayat yang mentaqyid ayat tersebut adalah pada surat Al-Nisa', 4:92, Allah menggunakan lafadz raqabah juga,
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“ Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Karena itu yang dimaksud budak ketika mendzihar isteri adalah budak yang beriman.
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya.
Kata washiyah yang terdapat pada ayat ini adalah muthlaq, tanpa ada taqyid dari ayat lain tentang jumlah wasiat itu, apakah seperempat, setengah atau sepertiga. Taqyid dari kemuthlaqan lafadz washiyah pada ayat ini ditemukan dalam hadits Nabi saw. Hadits seandainya seseorang mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat? Nabi saw menjawab:

الثلث و الثلث كثير
Rasulullah saw. Bersabda : Sepertiga, dan sepertiga itu banyak (HR. Muttafaq Alaih).
Ø  Hukum Al Muqayyad 
Dalam pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum wajib mengamalkan muqayyad. Misalnya, firman Allah pada surat al-Mujadilah, 58:4:

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.
Berdasarkan ayat ini kewajiban melakukan puasa selama dua bulan pada ayat tentang kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan dengan cara berturut-turut dan harus dilakukan sebelum suami isteri bercampur. Sehubungan dengan itu, tidak boleh puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan tidak berturut-turut dan tidak boleh dilakukan sesudah bercampur.
Ahli ushul fiqh menetapkan bahwa lafadz muqayyad tidak tetap sebagai muqayyad apabila ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Misalnya, pada firman Allah surat al-Nisa', 4:23 yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dikawini, seperti di bawah ini:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ 
“Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”. 
Pada ayat ini terdapat lafadz rabaaibukum (anak tirimu) yang merupakan lafadz muthlaq yang diberi batasan dengan dua hal, yaitu : allati fi hujuurikum (yang berada dalam pemeliharaanmu) dan 'allati dakhaltum bihinaa (yang ibunya telah dicampuri). Batasan lain, yaitu ibunya yang telah dicampuri, tetap diamalkan, selama ibunya belum dicampuri. Apabila sudah dicampuri, hukumnya haram.[15]
BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Lafadz ‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya. Menurut jumhur ulama (malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni.Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali.
Khash merupakan lawan kata dari  ‘am. Oleh karena itu, jika pengertian ‘am sudah bisa difahami maka khash juga secara langsung sudah bisa difahami. Karena banyak para penulis yang tidak menguraikan ma’na khash secara defenitif. Dalam pembahasan ini kita sering menemukan kata-kata yang kaitannya erat sekali dengan Khash, Takhsish, Mukhashshish dan Makhshush.
Para ulama ushul memberikan definisi muthlaq dengan berbagai definis, namun semuanya bertemu pada stu pengertian yaitu muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat suatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Kemudian muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.



[1]Rachmat Syafe’i, Ilmu Uhsul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia,2007), ha. 193
[2]A.Wahab Khallaf,Ilmu Uhsul Fiqih,(Jakarta: Rineka Cipta,1999), hal. 225
[3]Ibid.,hal.231-233
[4]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, op. cit., hal.194-199

[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,( Jakarta: Kencana,2009), hal. 86
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 281
[7] Amir Syarifuddin, op.Cit., hal. 87
[8] Ibid., hal. 87
[9] Abdul Wahab Khallaf, loc. Cit.
[10] Amir Syarifuddin, , op. Cit., hal. 89
[11] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih,  ( Bandung: al-Ma’arif ), hal. 64
[12] Amir Syarifuddin, op. Cit., hal. 90
[13] Ibid, hal. 91
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, op. Cit., hal. 212

1 komentar: