TRADISI NGALAKSA DI DESA RANCAKALONG KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Desa Rancakalong merupakan salah icon
kebudayaan sunda yang terletak di Kabupaten Sumedang dan merupakan pusat
kebudayaan Sumedang. Hal ini dikarenakan masyarakat di Kecamatan Rancakalong
memegang erat warisan budaya dan seni Sunda, terutama
di daerah Sumedang. Ada
beberapa tradisi Sunda yang sampai saat
ini masih terjaga dengan rapi, diantaranya; Mbubur Suro, Hajat Golong, Rebo
Wekasan, begitu juga tradisi Ngalaksa dsb. dan semuanya dilaksanakan secara
rutin setahun sekali, seperti Mbubur Suro dilaksanakan setiap bulan Muharram,
Rebo Wekasan pada bulan Shoffar dll.
Pada umumnya, dalam setiap tradisi sunda yang
terdapat di Rancakalong memiliki nilai-nilai Islam, seperti Rebo Wekasan
sebagai ‘tolak bala’, Hajat Golong sebagai wujud rasa persatuan antar
masyarakat, juga Ngalaksa merupakan wujud syukur terhadap Tuhan YME.
b.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan
diatas dapat dirumuskan sebagai berikut;
-
Apa itu
tradisi Ngalaksa?
-
Apa tujuan
tradisi tersebut?
-
Bagaimana
nilai-nilai islam yang terkandung dalam tradisi tersebut?
c.
Tujuan
-
Agar
mengetahui dan memahami tradisi Ngalaksa secara mendalam
-
Agar
mengetahui tujuan dari tradisi Ngalaksa tersebut
-
Memahami
nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut
BAB II
LOKASI
PENELITIAN
a.
Letak
Geografis Kecamatan Rancakalong
Lokasi
penelitian yang kita ambil yaitu di Kecamatan Rancakalong yang terletak di
kabupaten Sumedang , Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Daerah Rancakalong
merupakan suatu kecamatan yang berada di sebelah barat Kabupaten Sumedang.
Panorama alam Rancakalong yang indah memperlihatkan kecantikan pesona alam
pedesaan yang merupakan perpaduan bukit, lembah, dan hamparan sawah serta udara
yang masih segar. Keaslian 94 alamnya memperlihatkan belum daya tarik
tersendiri.Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Rancakalong masih kuat
memegang teguh rasa tolong-menolong dan gotong royong, hal tersebut dapat
dilihat ketika mereka bercocok tanam. Pada saat bercocok tanam, merekam selalu
saling membantu pada saat waktu melakukan panen atau menanam padi, bahkan dalam
penanggulangan hama. Kecamatan Rancakalong pada awalnya hanya terbagi atas lima
desa, yaitu Desa Rancakalong, Desa Cibunar, Desa Pasirbiru, Desa Pangadegan,
dan Desa Sukahayu. Pada tahun 1982 Kecamatan Rancakalong terbagi menjadi empat
belas desa, yaitu Desa Rancakalong, Desa Pamekaran, Desa Sukahayu, Desa
Sukamaju, Desa Pasirbiru, Desa Sukasirnarasa, Desa Cibunar, Desa Nagarawangi,
Desa Pangadegan, Desa Cibungur, Desa Cijeruk, Desa Cigendel, Desa Ciherang, dan
Desa Pamulihan. Alasan adanya pemekaran wilayah desa di Kecamatan Rancakalong
pada tahun 1982 adalah untuk mempermudah pengelolaan pemerintahan kecamatan,
selain itu dikarenakan setiap desa di Kecamatan Rancakalong mempunyai wilayah
yang luas, sehingga membuat penduduk susah untuk menjangkau kantor desa tempat
mereka tinggal. Jika ada urusan yang sifatnya penting dan harus segera
diselesaikan menjadi tertunda karena jarak yang jauh antara penduduk dan kantor
desa.
Pada
Tahun 2000, empat desa di wilayah Kecamatan Rancakalong terpisah dan masuk
menjadi wilayah lain. Alasan terjadi pemisahan tersebut adalah terlalu jauhnya
letak wilayah desa yang dipisahkan tersebut dengan pusat pemerintahan Kecamatan
Rancakalong sehingga terjadi kendala pada saat pengelolaan dan pemantauan oleh
pemerintahan Kecamatan Rancakalong. Desa yang dipisahkan 95 dari Kecamatan
Rancakalong tersebut adalah Desa Ciherang dan sekarang menjadi bagian dari
Kecamatan Sumedang Selatan. Sedangkan Desa Cigendel, Desa Cijeruk, dan Desa
Pemulihan masuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Pamulihan. Akhirnya,
wilayah Kecamatan Rancakalong terbagi menjadi sepuluh desa, yaitu Desa
Rancakalong, Desa Pamekaran, Desa Sukahayu, Desa Sukamaju, Desa Pasirbiru, Desa
Sukasirnarasa, Desa Cibunar, Desa Nagarawangi, Desa Pangadegan, dan Desa
Cibungur. Sampai tahun 2011 di Kecamatan Rancakalong tidak terjadi lagi
pemekaran wilayah ataupun pemisahan wilayah desa. Kecamatan Rancakalong
termasuk daerah pegunungan yang terletak berada di wilayah Gunung Puter atau
sebelah timur Gunung Manglayang, dan mempunyai rata-rata ketinggian antara
727-1000 m di atas permukaan laut. Suhu di Kecamatan Rancakalong antara 18 C
sampai 26 C, dengan curah hujan 275,05 mm (Kecamatan Rancakalong, 2007:1). Luas
keseluruhan wilayah Kecamatan Rancakalong adalah 5.270 Km2.
Peta
Kecamatan Rancakalong
BAB III
KESENIAN NGALAKSA DI DESA RANCAKALONG
a.
Pengertian
Ngalaksa
Ngalaksa
yaitu salah satu tradisi seni yang pusat pelaksanaanya ada di Kecamatan
Rancakalong dan sifatnya turun temurun. Kata Ngalaksa berasal dari bahasa
Sunda, yaitu laksa yang merupakan suatu jenis makanan. Jadi Ngalaksa bisa
diartikan sebagai suatu upacara yang membuat makanan dari tepung beras, yang dicampur
dengan kelapa, apu, dan garam. Kemudian dicampurkan dan dibungkus dengan daun
congkok. Setelah itu direbus menggunakan air daun combrang. Dimana rangkaian
kegiatan upacara tersebut dari awal hingga akhir diiringi oleh kesenian Tarawangsa.
Ngalaksa
sebelumnya dilaksanakan tiga tahun sekali. Baru setelah diresmikan oleh pemerintah
Kabupaten Sumedang acara Ngalaksa dilaksanakan sekali dalam setiap tahunnya.
Adapun tempatnya dilaksanakan di pusat wisata Rancakalong, Desa Rancakalong, Kecamatan
Rancakalong. Adapun pelaksana atau penyelenggara acara digilir bergantian
setiap desa se-Kecamatan Rancakalong. Pada tahun 2012 pelaksananya di panitiai
oleh warga Desa Cibunar, sedangkan pada tahun 2013 pelaksananya akan
diselenggarakan oleh Desa Rancakalong, tepatnya pada tanggal 19 Juni 2013.
b.
Sejarah
Ngalaksa
Diketahui
bahwa jaman dahulu pada tahun 1620-an, pada jaman pemerintahan Suryadiwangsa di
Sumedang, keadaan di Sumedang sedang sibuk. Saat itu wilayah Sumedang berada
dalam kekuasaan kerajaan Mataram. Karena merasa tidak aman, masyarakat Sumedang
melarikan diri ke dua tempat yang berbeda. Para Aparat Pemerintahan pergi ke Dayeuh
Luhur, sebagian lagi yaitu para Budayawan lari ke Rancakalong.
Saat
itu, Kerajaan Mataram memiliki rencana untuk menyerang VOC ke Batavia. Maka
ditentukan bahwa pusat perbekalan perang Kerajaan Mataram ada di Cirebon yang
saat itu dipimpin oleh Dipati Ukur. Bahan pangan, terutama padi di seluruh
wilayah Kerajaan Mataram harus dikirim ke Cirebon. Begitu pun Sumedang, bahan
pangan seperti padi, palawija, dan sebagainya habis semua diberikan ke Cirebon.
Tentunya saat itu di Sumedang mengalami paceklik atau susah pangan. Melihat
keadaan tersebut, masyarakat memiliki inisiatif mengirimkan utusan ke Cirebon.
Ada 13 orang utusan yang dipimpin oleh Jatikusumah mempunya tugas untuk membawa
benih padi dari Cirebon ke Sumedang. Tetapi setelah 3 tahun ternyata tidak
membuahkan hasil. Ini karena ketatnya pengawasan dari penjaga Cirebon. Para
utusan tertangkap, digeledah pada saat membawa benih padi. Oleh karena itu
Jatikusumah meminta kepada Pemerintah Sumedang untuk mencarikan seniman
Tarawangsa. Saat itu Sumedang langsung mengutus 2 orang seniman Tarawangsa
untuk pergi ke Cirebon. Dengan kepintaran 2 utusan tadi mereka berpura-pura
menjadi pengamen, akhirnya benih padi pun bisa sampai ke Sumedang. Sejak saat
itu masyarakat Sumedang tidak lagi mengalami paceklik karena benih padi yang
ditanam hasilnya selalu baik.
Setelah
mengetahui di Rancakalong hasil panen sangat melimpah, diputuskan Sumedang
harus mengirim padi ke Cirebon dalam bentuk makanan yang sudah matang. Saat itu
masyarakat Rancakalong mengolah padi menjadi suatu makanan yang disebut laksa,
serta setiap panen harus menyerahkan ke Cirebon untuk bekal perang. Sejak saat
itu, kebiasaan membuat laksa itu dijalankan setelah panen, serta mengirimkannya
ke Cirebon.
Lama-lama para pembuat laksa
meninggal karena usianya yang sudah tua. Akhirnya semuanya meninggal,
meninggalkan 1 anak yang berumur 12 tahun. Anak tersebut bernama Emod.
Selanjutnya diangkat oleh seorang warga Desa Rancakalong, sampai berumur 35
tahun. Dari Emod berumur 12 tahun hingga 35 tahun, kebiasaan membuat laksa
berhenti.
c.
Teknis
Pelaksanaan Ngalaksa
Dalam pelaksanaan upacara adat Ngalaksa,
peserta dalam upacara tentunya tidak hanya masyarakat lokal yang melaksanakan
upacara, tetapi masyarakat luar pun ikut dalam kegiatan upacara. Dalam upacara adat
Ngalaksa juga demikian. Selain dari peserta inti upacara, yaitu masyarakat Desa
Rancakalong, juga sering dihadiri oleh tamu undangan dan simpatisan, yaitu
masyarakat di luar penduduk resmi, daerah Rancakalong. Masyarakat yang mepunyai
hubungan dengan panitia inti biasanya selalu datang ikut hadir di tengah-tengah
acara untuk berkumpul dengan keluarganya. Kadang-kadang para simpatisan yang
memiliki hubungan dengan masyarakat lokal juga ikut membantu dan memberi
sumbangan berupa makanan dan minuman untuk kebutuhan upacara.
Dalam
upacara adat Ngalaksa ada yang disebut penyelenggara teknis, yaitu orang-orang
yang terlibat langsung dalam pelaksanaan upacara, melaksanakan rangkaian
upacara. Para penyelenggara teknis yaitu orang-orang yang mempunyai garis keturunan
dengan para sesepuh. Artinya tugas-tugas yang dikerjakan berupa warisan turun
temurun dari generasi tua ke generasi muda selaku calon penerusnya.
Penyelenggara teknis dalam upacara adat Ngalaksa diantaranya:
1. Ketua Rurukan atau
Ketua Kampung, yaitu tuganya memimpin upacara serta mengatur jalannya upacara.
Ketua rurukan yang membuka acara dan diawal memberikan contoh kepada peserta
upacara mengenai semua kegiatan yang akan dilaksanakan.
2.
Juru Ijab atau Wali Puhun, yaitu tokoh yang
tugasnya selaku mediator yang mengucapkan mantra-mantra dan do’a untuk roh para
leluhur. Juru Ijab harus hapal mantra dan do’a dalam upacara. Juru Ijab
merupakan sesepuh paling tua dalam jajaran struktur upacara, atau bisa disebut
juga ketua adat;
3.
Candoli, yaitu tokoh yang tugasnya menunggu
dan mengerjakan segala pekerjaan dan keperluan di tempat penyimpanan sesaji
(goah);
4.
Saehu, seorang penari sakral khusus dalam
upacara. Saehu seperti primadona diantara penari-penari lain. Ada juga saehu
perempuan yang fungsinya hampir sama dengan saehu laki-laki. Tokoh saehu perempuan
ini biasanya istri dari salah satu sesepuh;
5.
Juru tulis, yaitu tokoh yang tugasnya
menerima dan mencatat sumbangan dari warga masyarakat untuk keperluan upacara.
Setelah selesai upacara, juru tulis membagi-bagikan lontong kepada semua
peserta upacara sebagai balas jasa;
6.
Petugas-petugas lainnya, diantara petugas
yang menumbuk padi, membuat laksa, memasak, merebus, membungkus, dan menerima
tamu.
Untuk membedakan antar penyelenggara upacara dengan masyarakat awam
lainnya, setiap petugas memakai tanda khusus, yaitu memakai selendang yang
dipasang dari bahu sebelah kiri ke pinggang sebelah kanan.
d. Peralatan
dan Perlengkapan Upacara
sebelum
melaksanakan upacara, sesepuh-sesepuh sesepuh dan tokoh masyarakat lain
mengadakan dulu rundingan menentukan segala rupa barang-barang yang akan
digunakan dalam upacara. Barang-barang itu berupa bahan olahan, peralatan untuk
mengolah bahan, perlengkapan, serta peralatan untuk sasajen.
-
Bahan olahan,
diantaranya: padi yang banyaknya kurang lebih 670 kg, minyak kelapa, combrang
satu kerajang, daun congkok 10.000 lembar, apu 1 kg, daun cariang 500 lembar, 1
ekor ayam, lalu makanan seperti opak, ranginang, tangtang angin, ketupat dan
pisang yang jumlahnya tidak terbatas.
-
Peralatan
yang diperlukan, diantaranya : tumbukan yang banyaknya 7 buah, dulang 1 buah
untuk membuat adonan, alu yang banyaknya 45 buah, nampan 20 buah, bakul dan
keranjang masing-masing 20 buah, tanggungan 20 buah, kain penutup padi dan
beras yang banyaknya 20 lembar, peralatan dapur seperti piring, gelas, yang
jumlahnya tidak ditentukan, minyak tanah 50 liter dan kayu bakar 10 ikat.
Sedangkan khusus peralatan untuk membuat laksa gencet, yaitu : titihan
sepasang, cacadan dari kayu yang panjangnya 5 meter, sepotong lidi yang
panjangnya 1,5 meter, ancak beberapa buah untuk tempat menyimpan laksa gencet,
tungku 1 buah, kancah yang diameternya 60-80 cm sebanyak 10 buah, tungku yang
terbuat dari batang pohon pisang sebanyak 10 pasang, tempat untuk air comrang
dan air asem secukupnya;
- Perlengkapan upacara, diantaranya : baju perempuan
dan selendangnya untuk dipajang yang banyaknya 10 pasang, baju laki-laki 10
pasang, selendang untuk penari 10 pasang, payung 1 buah, kasur dan alasnya 1
pasang, jentreng dan tarawangsa 2 buah;
-
Perlengkapan sasajen, diantaranya :
minyak kelapa, rampe, kemenyan, tempat alan untuk wanita berdandan, kendi,
telur ayam, beras dan uang yang disimpan dalam wadah, kunyit yang sudah
ditumbuk, dua perangkat pakaian laki-laki dan perembuan lengkap dengan pusaka
keris, selendang sebagai tanda kepanitiaan dan keperluan tari, makanan ringan berupa
kue, opak, ranginang, dan sebagainya yang banyaknya 9 buah, kelapa muda, dan
sebagainya.
e.
Nlai-nilai
Islam dalam Tradisi Ngalaksa
Dalam tradisi ngalaksa ini banyak terdapat nilai-nilai
Islam, baik yang tersurat maupun tersirat. Diantaranya ialah;
- Ngalaksa, pada dasarnya merupakan wujud syukur
masyarakat kepada Allah SWT., atas limpahan berkah yang diberikan kepada
masyarakat Kecamatan Rancakalong pada
khususnya dan masyarakat sunda pada umumnya.
- Ngalaksa, dalam prosesinya banyak dibacakan
mantera-mantera. Dimana mantera-mantera tersebut isinya secara keseluruhan
adalah dakwah islamiyah; syair atau mantera yang pernah digunakan para wali
untuk menyebarkan islam lewat kesenian dan tradisi ini.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari
penelitian yang kami lakukan, dapat diperoleh bahwa Upacara Adat Ngalaksa yang
selalu dilaksanakan oleh masyarakat Kecamatan Rancakalong merupakan suatu
tradisi yang dilakukan secara turun menurun. Ngalaksa yaitu salah satu tradisi
seni yang pusat pelaksanaanya ada di Kecamatan Rancakalong dan sifatnya turun
temurun. Kata Ngalaksa berasal dari bahasa Sunda, yaitu laksa yang merupakan
suatu jenis makanan. Jadi Ngalaksa bisa diartikan sebagai suatu upacara yang
membuat makanan dari tepung beras, yang dicampur dengan kelapa, apu, dan garam.
Adapun tujuan diselenggarakannya tradisi
tersebut ialah; pertama, sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahan yang diberikan
kepada masyarakat Rancakalong khususnya. Sarana untuk menghormat kepada Dewi
Sri. Bisa disebutkan bahwa padi merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Padi harus dimanfaatkan dengan baik, jika tidak, maka akan ada rasa takut pada
kebaikan Dewi Sri. Selain dari
tujuan-tujuan memenuhi kebutuhan emosi religius tadi, upacara ini juga menjadi
sarana untuk menyambung silaturahmi, serta mempererat tali persaudaraan antar
manusia.
Komentar
Posting Komentar