PENGARUH MATARAM TERHADAP SUNDA (Kebudayaan, Kesusastraan dan Kesenian)
Oleh :
Abdul Aziz, Abdul Latif, Barizati
Amalia, Lisna Trisnawati
1.
Pendahuluan
Setelah
runtuhnya kerajaan Pajajaran pada Abad ke 16[1], Tatar Sunda kehilangan sentralnya baik itu
kebudayaan maupun kekuasaan. Ada beberapa kerajaan yang ada di Tatar Sunda,
diantaranya ialah ; Kerajaan Cirebon, Banten, dan Sumedanglarang. Namun, yang
menjadi sentral atau pusat kekuasaan Sunda ialah
Sumedanglarang. Hal ini
ditandai dengan diserahkannya
Kandage Lante[2]
Pajajaran maka praktis Kerajaan Sumedanglarang menjadi luas. Saat itu Sumedanglarang
dipimpin oleh Geusan Ulun. [3] Hal yang mendasari kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus
kekuasaan Tatar Sunda ialah atas dukungan dari beberapa mantan senapati dan
pembesar Kerajaan Pajajaran. Adapun wilayah kekuasaan Geusan Ulun meliputi
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung.[4]
Setelah Sumedanglarang menguasai tatar Sunda, Kerajaan ini menjadi
bawahan Kerajaan Mataram. Hal ini didasari dua alasan; Pertama, mereka
sepakat untuk berkoalisi untuk menghadapi Banten dan Belanda serta Cirebon. Kedua,
Suryadiwangsa (putra Geusan Ulun dari Harisbaya) menyerah tanpa
perang kepada Mataram terkait peristiwa Madura.[5] Dan
Mataram semakin kuat karena penguasa Sumedanglarang setelah Geusan Ulun yaitu Raden
Suriadiwangsa pada tahun 1620 datang ke Mataram menemui Sultan Agung
untuk
menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram, karena ia takut
Mataram akan menyerang Sumedang.[6]
2.
Pengaruh Mataram Terhadap Sunda
Setelah
Mataram berkuasa di Tatar Sunda, tentunya Mataram berpengaruh sangat terhadap
Sunda baik itu dalam kebudayaan, kesusastraan maupun kesenian. Salah satunya administrasi pemerintahan, yang mana berubahnya tata
Kerajaan menjadi kabupaten yang
disebut 'Kabupatian Wedana'. [7] Dan juga menurut Lubis konsep kekuasaan Jawa masuk ke dalam pemilikan Sunda. Bahkan
setelah kekuasaan Mataram berakhir, pengaruh ini masih tampak nyata. Dalam
berbagai sumber histografi tradisional banyak disebut konsep pulung atau wahyu
sebagai asal kekuasaan.[8]
Selain itu, Mataram berpengaruh pada bahasa. Bahasa
tulisan resmi menggunakan bahasa Jawa sedangkan bahasa lisan menggunakan bahasa
Sunda. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh budaya terhadap bahasa Sunda masih
kental mewarnai sampai saat ini, seperti adanya tingkatan penggunaan bahasa.
Berbicara tentang bahasa dalam Sunda terdapat Undak
Usuk Bahasa Sunda (UUBS) bersumber dari bahasa Jawa yang
bermula dari imperialisme yang dilakukan Mataram terhadap kerajaan Sunda.
Mayoritas para ahli bahasa Sunda memandang bahwa bahasa Sunda yang asli tidak
mengenal undak usuk. Tidak sedikit kebudayaan Jawa yang masuk ke dalam budaya
Sunda, termasuk dalam hal aksara, bahasa, berikut undak-usuk, tentunya.[9]
Adapun
dari segi tulisan, Aksara Cacarakan merupakan aksara Sunda yang diambil dari
Jawa sebagai pengaruh Mataram.[10] Dalam
bahasa Sunda “cacarakan” berarti meniru-niru aksara Carakan Jawa. Dalam hal
aksara Cacarakan persentase hasil kreasi orang Sunda hanya sebesar 10%, yakni
berupa pengurangan aksara dan sistem pengaksaraannya sesuai kekhasan
lafal/bunyi bahasa Sunda yang jumlahnya sedikit saja.[11]
Setelah
diruntuhkannya Pajajaran, kerajaan Hindu-Sunda berakhir oleh Banten pada tahun
1579, muncullah sejarah baru untuk kesusastraan Sunda. Ditandai dengan masuknya
Mataram ke Tatar Sunda. Orang-orang Sunda mulai berhenti menulis karya sastra
mereka dengan menggunakan bahasa Sunda dan aksara Sunda kuno. Mereka mulai
menulis dalam bahasa Jawa dengan menggunakan aksara Jawa dan aksara Pegon.
Secara umum, bahasa Jawa yang dipergunakan untuk menulis karya sastra
Jawa-Sunda biasanya yaitu dialek bahasa Jawa khas Cirebon. Salah satu ciri khas
dialek ini adalah tidak ada perbedaan antara fonem retrofleks dan dental, mirip
dengan bahasa Jawa yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali pula.
Sehingga semua fonem /t./ atau /th/ dan /d./ atau /dh/ dilafazkan dan ditulis
sebagai /t/ atau /d/ dental.[12]
Kemudian dalam aksara Jawa yang dipergunakan oleh orang Sunda ada sedikit
perbedaan ejaan. Aksara swara atau vokal /o/ yang biasanya ditulis dengan
menggunakan dua tanda diakritik, taling dan tarung, oleh orang
Sunda hanya ditulis dengan tarung saja. Sehingga sebenarnya yang ditulis
bukan vokal /o/ namun /a:/ (a panjang). Oleh orang Sunda aksara Jawa-Sunda
disebut Cacarakan. Sastra Jawa biasa ditulis dalam bentuk syair atau tembang
yang ditulis dalam bentuk prosa. Dari bermacam-macam jenis metrum Jawa, yang
dikenal di Sunda hanyalah Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula.
Karya
sastra Jawa mengalami kebangkitan pada abad XVIII dan XIX. Karya- karya itu di
tulis dan diubah oleh para pujangga kerajaan, sebagai akibat situasi masyarakat
yang semakin krisis karena kedatangan kompeni belanda yang menggeser
pemerintahan kerajaan. Para pujangga kerajaan “menggugah diri” dan berusaha untuk
menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional dengan cara menulis
dan mengubah sastra yang berisi ajaran piwulang dan sebagainya untuk tindakan
‘antisipasi” terhadap gejala-gejala krisis itu.
Kesusastraan
jawa mengalami perkembangan akibat peran istana atau kerajaan dalam kancah
politik dan ekonomi yang semakin mundur. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kompeni
Belanda yang semakin lama semakin
menggeser kekuasaan politik kerajaan. Dan kerajaan Jawa kehilangan peran
dan bahkan mencapai puncak krisis sehingga kerajaan lebih banyak berperan
sebagai pusat kesenian dan kesusastraan dari pada pusat politik yang
menentukan.
Selain
dalam Bahasa dan Kesusastraan Mataram berpengaruh juga terhadap kesenian. Berikut
ini beberapa diantara kesenian Sunda yang terpengaruh oleh Kerajaan Mataram.
1)
Pupuh Sunda[13]
Seni
Pupuh Sunda pada abad 17-18 M, mendapat pengaruh dari mataram. Karena Mataram
memiliki otoritas politik di daerah Priangan. Pada saat itu seni Pupuh banyak
digunakan dikalangan tertentu dalam hal ini kaum elit Sunda, dan juga pidato
para kaum menak. Pada zaman kolonial seni Pupuh banyak digunakan sebagai alat
surat menyurat, pidato para kaum menak. Seiring zaman para seniman Sunda, Pupuh
Sunda berkembang ke beberapa jenis kesenian tradisi Sunda. Misalnya Cianjuran,
Ciawian, Gendingkaresmen, dll. Dalam hal ini, bahasa yang lebih terlihat
terpengaruh oleh Mataram, namun dari segi musikalitasnya dalam hal ini lagu
sangat berbeda dengan tembang di jawa.
2)
Tarawangsa[14]
Tarawangsa
merupakan alat musik kayu yang terdiri dari dua bagian, yakni tangkai penampang
dawai dan berbetuk kotak. Atau disebut juga alat musik gesek. Menurut
versilisan rancakalong (Sumedang) seni tarawangsa telah ada sejak masa Mataram
Kuno (abad ke 8 atau 9 M). Kini, tradisi
Tarawangsa masih hidup di beberapa daerah di Jawa Barat, walau langka sekali.
Semisal di daerah Rancakalong di Sumedang, Cipatujah di Tasikmalaya.
3)
Tembang[15]
Tembang
Sunda sangat popular sekali dalam masyarakat Sunda. Ciri khas dalam iringan
tembang Sunda adalah iringan musik kecapi dan suling. Pada awalnya tembang
Sunda hidup dalam lingkungan elit saja. Isi ungkapan yang diketengahkan dalam
tembang Sunda adalah:
·
Sanjungan
terhadap leluhur
·
Keindahan-
keindahan alam Priangan, dan
·
Ungkapan
percintaan
Tembang
sangat erat kaitannya dengan kesusatraan. Satu hal yang paling menonjol adalah
Pupuh. Ada beberapa pendapat bahwa kehadiran dan perkembangan tembang banyak tali-temalinya
dengan pengaruh Pupuh yang masuk pada zaman Mataram dulu.
DAFTAR PUSTAKA
Bahasa dan Budaya Sunda Pasca Padjajaran. Terbaca dalam http://tuturussangrakean.blogspot.com ,. Diakses
pada hari Sabtu, 9 Maret 2013, pkl. 14:34 WIB.
Eksistensi Seni Pupuh di Era Globalisasi. Terbaca dalam
http://budsun.blogspot.com//2010/04/eksistensi-seni-pupuh-di-era-globalisasi.html.
Diakses pada hari Rabu 13 Maret 2013. Pkl 13:30 WIB
Iskandar, Yoseph . 1997. Sejarah Jawa Barat, cet. Ke-2. Bandung
: Geger Sunten.
Karawitan
. Terbaca dalam. http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada hari Kamis, 13 Maret 2013. Pkl.
11:47 WIB.
Kebudayaan Sunda. Terbaca
dalam http://sastragudangilmu.blogspot.com/2012/11/kebudayaan-sunda.html. Diakses pada hari Ahad,
Muhsin Z., Mumuh.
2008. Sumedang Pada Masa Pengaruh Kesultanan Mataram : Makalah.
S.
Ekadjati, Edi. 2004.Kebangkitan Kembali Orang Sunda, Bandung : Kiblat
Buku Utama.
Sastra
Jawa Sunda. Terbaca dalam http://id.wikipedia.org/wiki. Diakses pada Kamis, 14 Maret 2013, pkl. 11:45
WIB.
Sejarah Undak Usuk Bahasa Sunda. Terbaca dalam
http://angade.my.id. Diakses pada Kamis,
14 Maret 2013. Pkl. 11:26.
Sunda Pasca Runtuhnya Pajajaran. Terbaca dalam http://kalakaygupay.blogspot.com/2011/03/sunda-pasca-runtuhnya-pajajaran.html.
Diakses pada Kamis, 14 Maret 2013, pkl. 13:35.
Tarawangsa.
Terbaca dalam http://wacananusantara.org/. Diakses pada hari Rabu,
13 Maret 2013. Pkl. 14.02 WIB.
Tim
Unicode Aksara Sunda. 2008. Direktori Aksara Sunda untuk Unicode.
Bandung: Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat
[1]
Menurut Mumuh Muhsin Z., terjadi sekitar awal abad ke 17. Lihat Mumuh Muhsin
Z., Sumedang Pada Masa Pengaruh Kesultanan Mataram : Makalah.
2008. Hlm. 1.
[3] Sunda Pasca Runtuhnya Pajajaran. Terbaca
dalam http://kalakaygupay.blogspot.com/2011/03/sunda-pasca-runtuhnya-pajajaran.html.
Diakses pada Kamis, 14 Maret 2013, pkl. 13:35.
[4] Yoseph
Iskandar, Sejarah Jawa Barat, (Bandung : Geger Sunten, 1997). Hlm.
296-297.
[5] Bahasa dan Budaya Sunda Pasca Padjajaran. Terbaca dalam
http://tuturussangrakean.blogspot.com ,. Diakses pada hari Sabtu, 9
Maret 2013, pkl. 14:34 WIB.
[6] Mumuh Muhsin
Z., Op. Cit., hlm. 3.
[7] Bahasa dan
Budaya Sunda Pasca Padjajaran.
[8] Kebudayaan
Sunda. Terbaca dalam http://sastragudangilmu.blogspot.com/2012/11/kebudayaan-sunda.html. Diakses pada hari Ahad,
[9]Sejarah Undak
Usuk Bahasa Sunda. Terbaca dalam http://angade.my.id.
Diakses pada Kamis, 14 Maret 2013. Pkl. 11:26.
[10] Edi S.
Ekadjati, Kebangkitan Kembali Orang Sunda, (Bandung : Kiblat Buku Utama,
2004), hlm. 26.
[11] Tim
Unicode Aksara Sunda. Direktori Aksara Sunda untuk Unicode. (Bandung:
Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat, 2008)
[12] Sastra Jawa
Sunda. Terbaca dalam http://id.wikipedia.org/wiki. Diakses pada Kamis, 14 Maret 2013, pkl. 11:45
WIB.
[13] Eksistensi
Seni Pupuh di Era Globalisasi. Terbaca dalam http://budsun.blogspot.com//2010/04/eksistensi-seni-pupuh-di-era-globalisasi.html.
Diakses pada hari Rabu 13 Maret 2013. Pkl 13:30 WIB
[14] Tarawangsa.
Terbaca dalam http://wacananusantara.org/. Diakses pada hari Rabu, 13 Maret
2013. Pkl. 14.02 WIB.
[15] Karawitan .
Terbaca dalam. http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada hari Kamis, 13 Maret 2013. Pkl.
11:47 WIB.
sampurasun.....alhamdulillah artikelna sae kanggo referensi urang sunda kanggo ngaguar sareng ngagali deui sastra sunda sateu acan pangaruh mataram......
BalasHapus