HERMENEUTIKA GADAMER
HERMENEUTIKA GADAMER
Oleh : Abdul Aziz
a.
Latar Belakang
Eksistensi hermeneutika dalam belantara
kehidupan intelektual masyarakat belum terlihat signifikasinya, padahal urgensi
hermeneutika sudah dipropogandakan oleh para filosof sejak sekian lama. Hal ini
difahami karena menurut Mulyono kita cenderung beranggapan bahwa
hermeneutika
diartikan sebagai “ilmu tafsir”, sementara sifat kritisnya terus diabaikan.[1]
Pada dasarnya kita sudah akrab dengan
hermeneutika, diartikan sebagai sebuah kata kerja dari bahasa Yunani hermeneuin
yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan.[2]
Kita juga tahu bahwa kata tersebut merujuk pada dewa Hermes seorang dewa
dalam mitologi Yunani di Gunung Olympus yang memiliki tugas membawa berita
kepada manusia dan juga nasib yang akan dialami manusia. Hermes menyampaikan
pesan dari dunia yang sangat berbeda sedemikian rupa sehingga dapat difahami
oleh manusia dengan bahasanya. Oleh karena itu, tugas hermes tidak hanya
menyampaikan pesan saja, melainkan terlebih dahulu ia harus memahami,
menerjemahkan dan menerangkannya kepada manusia, menurut Mulyono tanpa disadari
bahwa definisi tersebut digagas oleh Heideggerr.[3]
Proses memahami, menerjemahkan dan menerangkan
sebuah pesan dalam bahasa itulah yang menjadi rahim yang selanjutnya melahirkan
hermeneutika. Dalam proses tersebut hermeneutika memiliki berbagai elemen yang
sangat kompleks, seperti praanggapan, dialektika, bahasa, dan realitas.[4]
Dalam makalah ini berusaha mengupas pemikiran hermeneutika yang memfokuskan
pada seorang tokoh, yaitu Hans-Georg Gadamer.
b.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
berasal dari beberapa pertanyaan berikut :
1.
Bagaimana
riwayat hidup Hans-Georg Gadamer?
2.
Bagaimana
pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer?
c.
Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini
ialah:
-
Agar
mengetahui riwayat hidup Hans-Georg Gadamer
-
Agar memahami
pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Riwayat Hidup
Hans-Georg Gadamer
Beliau lahir di Marburg pada tahun 1900.
Ia belajar filsafat di kota asalnya, ia
belajar pada Nikolai Hartmann dan Martin Heidegger dan juga ia pernah belajar
pada Bultmann. Pada tahun 1922, ia meraih gelar doktor filsafat, tahun 1929 ia
menjadi profesor pada tahun 1937 dan sampai pada akhirnya ia menjadi tenaga
pengajar di Heildberg.[5]
Pemikirannya secara umum dipengaruhi dan
dilatarbelakangi oleh fenomenologi. Banyak bukunya yang memberikan interpretasi
tentang filsof-filsof terdahulu, seperti Herder, Hegel, Goethe, dan Plato. Dari
sekian banyak karyanya yang terpenting ialah tentang metode hermeneutika yaitu Wahrheit
und Methode. Grundzuge einer philosophiscen Hermeneutik (1960) (Kebenaran
dan Metode. Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya). Buku inilah
yang membawa Gadamer menjadi seorang filsof terkemuka di bidang hermeneutika.
Pada tahun 1965, buku diterbitkannya cetakan kedua dengan dibubuhi pendahuluan
yang baru dimana beliau menjelaskan maksudnya dan menjawab
interfensi-interfensi yang telah dikemukakan, ditambah lagi sebuah lampiran.
Dan terbit lagi cetakan ketiga dengan tambahan suatu kata penutup lagi di tahun
1972.[6]
Tradisi filsafat modern yang mengembangkan
metode kuantitatif yang terutama dikembangkan oleh kaum postivisme logis pada
abad ke-10 memang sangat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, bahkan pada
disiplin ilmu sosial, budaya, maupun ekonomi. Berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan pada abad tersebut Gadamer menawarkan suatu metode hermeneutika
yang terutama berkaitan dengan bidang-bidang sosial, budaya, dan humaniora.[7]
b.
Pemikiran
Hermeneutikanya
Gadamer meyakini bahwa hermeneutika
meupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang diklaim
sebagai hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah “ada”, pemikiran ini tidak
terlepas dengan pemikiran Heidegger.[8] Sikap yang paling fundamental dalam
keberadaan eksistensi manusia ialah proses “pemahaman” / “mengerti, dengan kata
lain “mengerti” itu ialah cara berada manusia itu sendiri. Jadi, eksistensi
manusia dipengaruhi dari kualitas pemahaman manusia tersebut. Sehingga
perhatian Gadamer tidak hanya memusatkan pada satu tugas filsafat (teori
hermeneutis), melainkan semua tugas yang beliau perhatikan dalam setiap tema
filsafat dari satu segi tertentu, yaitu hermenutika.[9]
Sebelum munculnya kedua tokoh
hermeneutika yang fundamental ini, yaitu Heidegger dan Gadamer diskursus
hermeneutika menyatu dengan sains yang bersifat metodologis., dengan tekanan
bahwa semua pengetahuan dapat diakui jika memiliki basis empiris. Secara tidak
langsung hermeneutika menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan alam
postivisme yang biasanya mensyaratkan obyektivisme. Ini menjadikan dilema bagi
hermeneutika, dikarenakan hermeneutika ialah ilmu interpretasi tentu tidak
terlepas dengan sang penafsir atau pembaca yang memiliki wilayah historis
sendiri yang berbeda dengan historis yang ada dalam teks yang akan ditafsirnya.[10]
Tokoh Betti, Scehleimermacher, dan
Dhiltey meupakan pengagas aliran hermeneutika obyektivitas ini. Walaupun
konteks ke-obyektivitasan dari masing-masing berbeda, seperti Dilthey lebih
memfokuskan pada “teks”, sedangkan Schleimermacher lebih pada “pengarang”[11],
namun ketiganya secara tidak langsung harus mensyaratkan tampilan hermenutika
yang steril dari intervensi historitas penafsir.
Berlahir dari sanalah, Gadamer
memunculkan antitesis yang begitu ekstrem dengan hermeneutika filosofisnya,
bahwa upaya obyektivitas akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapapun yang
akan menafsirkan sebuah teks. Sebab antara pengarang dan penafsir terjalin
jurang tradisi yang tidak mungkin akan menyatu serta penafsir tak mungkin
kosong dari arus budaya yeng memberikan watak dan pemikiran sendiri sebagai
modal hermeunetisnya. Dengan kata lain, menurut Gadamer, hermeneutika yang bisa
dihidupkan dengan baik ialah subyektivisme interpretasi yang relevan dengan
praandaian-praandaian yang dibangun oleh historisnya di masa kini. Ia
menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu
adalah dialektika atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.
Dan ini hanya bisa dimasuki melalui bahasa.[12]
Kerangka hermenutika Gadamer secara
kategoris berkaitan dengan pokok-pokok khusus, yaitu :[13]
a.
Kebenaran
sebagai yang tak tersembunyi
Obesesi merealisasikan kebenaran
mengandung pengertian bahwa bagi Gadamer kebenaran dipahami sebagai
ketersingkapan, ketersembunyian atau “ada telanjang”. Penyingkapan kebenaran
itu harus mengacu pada tradisi, bukan pada metode metode atau teori. Baginya,
manusia mampu memahami karena ia mempunyai tradisi dan tradisi ialah bagian
dari pengalaman kita, sehingga tidak akan ada pengalaman kita yang berarti
tanpa mengacu pada tradisi. Tegasnya, pemahaman terhadap agar menjadi entitas
yang tak tersembunyi hanya akan menjadi suatu kemungkinan jika berpijak pada
trasisi. Itulah sebabnya gerakan untuk memahami dipandang sebagai cara
beradanya Dasein.
b.
Bahasa dan
Pemahaman
Dikarenakan bahasa merupakan
endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami, maka kebenaran yang tak
terembunyi itu juga harus dipahami lewat dan dalam bahasa, karena itulah
Gadamer menjadikan bahasa sebagai isu sentral hermenutisnya.
Konsepsi Gadamer tentang hakikat
bahasa ialah penolakannya terhadap “teori tanda”. Sebab penempatan
bahasa sebagai tanda sama dengan mengeliminasinya semata sebagai alat penanda. Menurutnya
juga bahasa harus dipahami sebagau yang
menunjuk pada pertumbuhan maknanya, secara historis, dengan kesejarahan
makna-maknanya, tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa
muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk
pengalaman historis/tradisi.
Dengan pemahaman tersebut, Gadamer
mendefinisikan bahasa bukan sebagai suatu yang tertuju pada manusia melainkan
pada situasi.
Kata-kata untuk merumuskan suatu
obyek tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang atau sembarangan, tetapi
selalu mengacu pada obyek yang bersangkutan dan harus ada kesesuaian dengan
rangkaian sebelumnya. Peristiwa haremeneutis terjadi bukan karena tindakan dari
obyek itu sendiri. Sehingga bahasa yang menjadi media antara kesadaran dan
realitas dapat menyingkapkan dunia. Sedemikian fundamentalnya aspek kebahasaan
dalam pemikiran harmeneutis. Gadamer sampai-sampai ia mengatakan bahwa hanya melalui
bahasa wujud bisa disingkapkan.
Hal paling layak dikemukakan disitu
ialah persyaratan praandaian-praandaian bagi seorang yang ingin melakukan suatu
pemahaman atau interpretasi sehingga kemudian terbangun dialog/dialektika
antara penafsir dengn teks yang ditafsirkannya. Tanpa adanya perandaian
terhadap oyek yang didekati ini amatlah mahal bagi seseorang untuk menghasilkan
pemahaman. Itulah sebabnya Gadamerpun sejjar dengan Heidegger yang bergerak
sirkular dalam aplikasi hermeuntisnya.
-
Praandaian
Gadamer
tidak menampik konstribusi hermenutika romantik ala Schlemermacher maupun
Dhiltey meskipun tidak menabung krtik-kirtiknya. Gadamar berbeda secara ekstrim
dalam konteks perandaian ini. Dilthey begitu terobsesi untuk memunculkan suatu
pemahaman atau interprensi yang betul-betul objektif tehadap otoritas teks dan
penciptnya, karena itu dia menegadi perandai-andaian bagi siapapun yang akan
mengintrepretasikan sebuah teks.
Dilthey
mengandalkan penafsir sekaligus memiliki bekal ilmu psikologi guna mangetahui
latar belakang visi dan misi historis sipengarang yang diakumulasikan dalam
teks yang dihasilkannya. Dai situ baginya, hermeneutika akan menghasilkan
pencapaiaian-pencapaian makna yang otentis dan asli dengan bingkai historis
yang dimiliki sipengarang atau bersifat reproduktif.
Sedangkan
menurut Gadamar yang sangat meyakni bahwa menghilangkan perandaian sama dengan
mematikan pemikiran. Ia tidak
mengimpikan hermeneutika bertugas menemukan arti yang asli dari suatu teks,
menurutnya interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, lalu mencari
yang diletakkan didalamnya oleh pengarang. Gadamar menyatakan kemustahilan
untuk menjembatani jurang waktu antara kita sebagai penafsir dengan pengarang
karena kita niscaya tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari situasi
historis dimana kita berada. Setiap zaman harus mengusahakan interpretasinya
sendiri. Disinilah letak urgensi perandai-anadaian seorang penafsir yang tentu
beranjak dari historisnya ketika akan memasuki sebuah teks yang memiiliki
historisnya sendiri.
-
Dialektika/Dialog
Bekal
historis dalam aplikasi hermenutika Gadamar menidcayakan proses
dialektis/dialog, proses dialog antara cakrawala teks menyediakan pertanyaan
bagi penafsir dan penafsir dengan cakrawala sendiri menimbulkan pertanyaan yang
lain lagi peristiwa dialogis dimana pertemuan antara pertanyaan dan jawaban
merupakan pemicu bagi munculnya suatu pemahaman. Peristiwa ini bisa disebut
pleburan cakrwala-cakrawala.
Hermenutika Gadamar dengan demikian bergerak
sacara sirkular, masa lalu dan masa kini dalam suatu pertemuan ontolgis
sehingga ada mewahyukan dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Gadamar tidak pernah
melegitimasi suatu penafsiran sebagai yang benar dalam dirinya sendiri.
Dalam
skema yang lebih simpel hermeneutika filosofi Gadamar bisa kemukakan sbb;
Teks
Praandaian
Realita
Historis
Reproduksi
Subyektivas
c.
Hubungan
antara kebenaran dan Metode
Pencapaian
kebenaran sebagai produksi operasi hermeunetis terhadap suatu teks harus,
melampaui metode-metode. Gadamar memang tidak menafikan sekali kedudukan
metode, namun beliau menandaskan bahwa kebenaran bukanlah produk metode. Metode
tidak secara mutlak merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran.
Kebenaran justru akan dicapai jika batasan-batasan metodologis dilampaui.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari pemaparan tadi menjadi jelas sistem
relasi antara ketiga elemen yang
merangkai pemikiran hermeneutika Gadamar. Gerakan untuk memahami ada
yang tidak tersembunyi berpijak pada tradisi. Bahasa sebagai endapan tradisi
sekaligus medium untuk memahami sehingga ada yang tak tersembunyi itu difahami
lewat dan dalam bahasa pula. Akhirnya kebenran itu melalui ada-nya sendiri.
Sesuai dengan proses dialektik dan linguistik yang melampaui batas-batas
metodologis yang diaplikasikan oleh penafsir teks.
Secara Substantif pemikiran hermeneutika
filosofinya Gadamar berakar dari tiga poin, yaitu; peleburan bahasa, pengalaman
kultural dan cakrawala historis dengan kesadaran subjektif. Gadamar sangat
meyakini bahwa ontologi dapat ditelanjangi menjadi wujud yang merealitas
dihadapan manusia dengan eksplorasi bahasa yang sekuas-luasnya.
[1] Edi Mulyono, dkk. Belajar Hermeneutika ; Dari Konfigurasi Filosofis
Menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012) . Hlm. 141
[2] Syukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab ; Klasik dan Modern, (Jakarta
: Rajawali Pres, 2009). Hlm. 221
[3] Edi Mulyono, dkk. Op. Cit., Hlm. 142
[4] Ibid.
[5] Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta
: Paradigma, 2009). Hlm. 283
[6] Edi Mulyono, dkk. Op. Cit., Hlm.
143
[7] Kaelan, Op. Cit. Hlm. 284
[8] Edi Mulyono, dkk. Op. Cit., Hlm.
144, Kaelan, Loc. Cit,
[9] K Barten, Filsafat Barat, (Jakarta : Gramedoa, 1990), hlm. 224
[10] Edi Mulyono, dkk. Op. Cit., Hlm.
145
[11] Syukron Kamil, Op. Cit., hlm. 223, Edi Mulyono, dkk. Loc., cit.
[12] Edi Mulyono, dkk. Op. Cit., 146
[13] Ibid., hlm. 147-155
Komentar
Posting Komentar