SEJARAH SEMANTIK
a.
Perkembangan
Semantik Barat
Menurut Aminudin sebagaimana ia mengutip dari Ullman bahwa
Aristoteles, sebagai
pemikir yunani hidup pada masa 384-322 SM adalah pemikir
pertama yang menggunakan istilah ‘’makna’’ lewat batasan pengertian kata yang
menurut Aristoteles adalah
‘’satuan terkecil yang mengandung makna. Aristoteles juga
mengungkapkan bahwa
makna kata dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu
sendiri secara otonom serta makna kata yang hadir akibat hubungan gramatikal[1].
Berbeda dengan
Aristoteles, Plato yang merupakan guru Aristoteles ia menyatakan bahwa
bunyi-bunyi secara inflisit juga mengandung makna-makna tertentu namun studi
bahasa yang banyak di gunakan pada masa itu hanya berkaitan dengan studi
filsafat, masih sedikit yang membahas tataran bunyi, tataran dramatika, dan
tataran makna bahkan bisa dibilang belum ada[2].
Perbedaan
antara keduanya ialah Plato percaya bahwa adanya hubungan berarti antara kata
(bunyi-bunyi bahasa) yang kita pakai dengan barang-barang yang dinamainya,
sedangkan Aristoteles menurut Chaer ialah pendapat yang kita anut sekarang ini, adapun
pendapatnya ialah hubungan antara bentuk dan arti kata merupakan soal
perjanjian diantara pemakai bahasa.
Pada tahun 1825 seorang berkebangsaan jerman, C. Chr. Reisig,
mengemukakan konsep baru tentang grammar yang meliputi tiga unsur utama yakni (1) Semasiologi,
ilmu tentang tanda (2) Sintaksis
study tentang kalimat serta (3) Etimologi
studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa kini,
istilah semantik itu sendiri
belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah masa
tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkan
dengan underground period.[3]
Berikutnya menjelang akhir abad XIX yakni masa kedua semantik ditandai oleh
kehadiran karya Michel Breal seorang sarjana prancis dalam karangannya Essai de Semantiqe telah dengan jelas
menggunakan istilah semantik dan menyebutkan bahwa semantik adalah suatu bidang
ilmu yang baru. Namun dia masih menyebut semantik sebagai ilmu yang
“Murni-historis”.[4]
Masa pertumbuhan ketiga, pertumbuhan
studi tentang makna ditandai dengan kemunculan karya filolog Swedia
yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special
Reference to the English Language (1931). Dalam kajian itu, Stern melakukan
studi makna secara inpiris dengan bertolak dari suatu bahasa yakni bahasa
inggris[5].
b.
Perkembangan
Semantik Arab
Padanan
istilah Semantik dalam bahasa Arab ialah Ilmu Dilalah yang berasal dari kata دل-
يدل-
دلالة yang
memiliki arti menunjukkan. Di Jazirah Arab, kemunculan ilmu dilalah ini sudah
lama, diperkirakan pada awal-awal abad. Ditandai dengan adanya perhatian yang
besar dari para saintis Arab. Adapun contoh konkritnya ialah pemberian titik
dan baris pada al-Qur’an. Menurut Anwar hal tersebut merupakan bagian cakupan
dari ilmu dilalah (semantik), dikarenakan al-Qur’an pada awalnya hadir tanpa
titik dan baris. Dan perubahan suatu kata, baik itu pemberian titik atau baris
menjadikannya beralih tugas, kemudian secara otomatis memiliki makna baru[6].
Tidak
sebatas itu, studi bahasa yang dilakukan oleh para saintis Arab. Al-Qur’an
sebagai kitab yang kaya akan ilmu pengetahuan, ilmu dilalah merupakan salah
satu diantara perangkat untuk mengkaji al-Qur’an[7].
Tahun
1883 merupakan masa kebangkitan ilmu ini, dimana seorang saintis bernama
Michelle Breal mengumumkan kelahiran suatu disiplin ilmu baru yang dalam
pembahasannya berfokus pada “makna/arti”. Yang disebut dengan semantic[8].
Abu Hatim al-Razi sebagai perintis
perkembangan semantik, telah mengumpulkan beberapa kata yang mengalami
perkembangan semantik. Menurutnya perkembangan semantik mengambil beberapa
bentuk yaitu:
1. Makna lama yang diwariskan
2. Lafal lama yang diberi makna
baru setelah datangnya Islam baik dalam bentuk perluasan makna, penyempitan
maupun pergeseran makna.
3. Lafal yang sama sekali baru baik
dari segi bangun katanya maupun maknanya yang tidak dikenal oleh orang Arab
sebelumnya.
4. Lafal baru yang diserap dari bahasa asing
c.
Perkembangan
Semantik di Indonesia
Sebelum kita membahas tentang semantik di Indonesia,
kita akan mengulas asal dari bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia
berasal dari bahasa melayu yang secara resmi menjadi bahasa Indonesia pada saat
sumpah pemuda, memiliki perkembangan
yang sangat cepat dan sebuah bahasa daerah yang memang sudah berfungsi sebagai
lingua panca di Nusantara menjadi suatu bahasa nasional, bahasa persatuan, dan
bahasa Negara[9]
Studi yang serius mengenai bahasa Indonesia telah banyak dilakukan
orang, baik yang dilakukan sarjana bangsa
Indonesia sendiri maupun bangsa asing. Semua segi dan aspek kebahasan bahasa
Indonesia telah di teliti orang salah satunya
masalah Semantik. Pembicaraan khusus mengenai semantik bahasa
Indonesia sejauh ini yang ada barulah dari Slamet Mulyana (1964) dan D.P. Tampu
bolon (1979). Sedangkan yang dibuat Mansur pateda dan Aminuddin adalah bersifat
umum teoritis ilmiah.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Semantik
Pengantar Studi Tentang Makna, Bandung :
Sinar Baru Algensindo, 2011.
Abdul Galey, Manqur Ilmu
Ad-Dilalah, Ushuluh wa Mabahitsu Fi
At-Turats Al-Araby, Damaskus: Maktabah Al-Asad, 2001.
Chaer, Abdul Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta,2009.
Anwar, Pengantar Ilmu
Dilalah, terbaca dalam http://kesanpertama.wordpress.com. Diakses
pada Sabtu, 14 September 2013, Pkl. 11:54 WIB.
[1] Aminudin, Semantik Pengantar Studi Tentang
Makna .(Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2011) hal 15
[6] Anwar, Pengantar
Ilmu Dilalah, terbaca dalam http://kesanpertama.wordpress.com. Diakses
pada Sabtu, 14 September 2013, Pkl. 11:54 WIB.
[8] Manqur Abdul Galey, Ilmu Ad-Dilalah, Ushuluh wa
Mabahitsu Fi At-Turats Al-Araby, (Damaskus: Maktabah Al-Asad, 2001), h. 15.
Komentar
Posting Komentar