MENULIS DALAM KANCAH PERADABAN ISLAM
MENULIS DALAM KANCAH PERADABAN ISLAM
Oleh : Abdul Aziz*
Menulis!!!
Merupakan istilah yang
tak asing lagi ditelinga kita, bahkan dalam semua aktifitas yang kita lakukan sering
kita jumpai pekerjaan yang satu ini. Apalagi bagi seorang pelajar, mahasiswa,
guru, dosen, dsb. Namun, apa sih esensi dari menulis itu sendiri? Apakah hanya
sekedar pekerjaan biasa saja, sama halnya dengan makan, minum, nonton? Atau
menulis merupakan pekerjaan yang bisa merubah dunia?
Saya pernah membaca
tema dalam kolom Kampus di Harian Umum Pikiran Rakyat “Rubahlah Dunia dengan
Tulisan”, ya memang tulisan merupakan pekerjaan yang tak boleh dianggap
remeh, dengan tulisan manusia bisa
beralih dari zaman prasejarah mejadi zaman sejarah. Dengan tulisan pula sejarah
masa lalu dapat dipelajari sehingga bisa diperbaiki kedepannya. Hari ini,
peradaban menuntut kita sebagai menusia untuk menulis. Sejak berusia muda, manusia sudah dituntut untuk mengenal huruf,
angka, tanda baca yang melengkapi keduanya. Terbukti bangsa Arab yang pada masa
Jahiliyyah mereka dikenal sebagai bangsa yang tidak mengenal tuisan, mereka
hanya mengandalkan daya hafalan yang sangat kuat. Namun, setelah Islam datang
dan tradisi menulis dikenalkan oleh Islam, sehingga Bangsa Arab bisa menguasai
peradaban dunia pada waktu itu.
Menurut Bambang Trim menulis
merupakan pekerjaan mengolah sebuah gagasan. Ya, gagasan atau ide merupakan
pondasi awal seseorang untuk menulis, ide juga sama halnya dengan mencari
inspirasi atau ilham. Dari mana datangnya ide? Ok, ide atau gagasan bisa datang
kapan saja dan dimana saja, bisa saja ide datang saat kita melamun, saat kita
belajar, saat kita berdesak-desakan di bis. Dan gagsan merupakan sumber yang
sangat berharga ketika mulai menulis, nah,, ketika mulai menemukan ide apa yang
kita tulis, ikatlah ide tersebut tuangkan dalam secarik kertas maupun dalam
ketikan dikomputer. Ada seorang dosen penulis, ia memang editor buku,
penerjemah juga penulis. Waktu itu ia berada dalam suasana yang tidak mood,
namun ia dituntut oleh penerbit untuk menciptakan karya terbaru, tak ide
satupun yang terllintas dalam fikirannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk sekedar
jalan-jalan di angkutan kota (angkot), ternyata di dalam angkot tersebut ia
menemukan ide. Bisa dikatakan ide itu bagaikan singa yang buas, ketika singa
tersebut tidak diikat dan dikurung dalam kandang, maka ia akan lari. Begitu
juga ide jika kita tidak ikat dengan tulisan, maka ide itu akan hilang dengan
sendirinya. Ada berbagai cara orang memperoleh ide, ia bisa datang secara
langsung, dalam istilah kepenulisan itu disebut dengan naluri menuis. Ide juga
bisa datang lewat panca indra kita, bisa dengan membaca buku maupun koran,
nonton televisi atau film, melihat pemandangan yang indah, mendengarkan siaran
radio dan lain sebagainya. Ide menulis juga bisa diperoleh dengan akal kita,
yakni dengan mengoptimalkan daya pikir kita, dipicu dengan pertanyaan, mengapa,
kenapa harus begitu, atau juga bagaimana terhadap semua kejadian yang kita
lihat dan kita alami. Jadi inget omongan Maskun Iskandar “ ide itu ada
dimana-mana, sumber ide antara lain bacaan, pengalaman, pendapat, obrolan,
pengetahuan, pendengaran dan juga tontonan.
Oh ya, jadi panjang
lebar ke ide-ide sich, tapi tak apeu laah,, terus bagaimana dengan perkembangan
menulis dalam islam??
Yepp, betul sekali kita sebagai seorang muslim,
seyogyanya harus tahu bagaimana sejarah kepenulisan dalam islam? Bagaiamana
kepenulisan al-Qur’an, yang tadinya wahyu dari Jibril disampaikan pada baginda
Rasul sampai saat ini kita sangat mudah membacanya?? Well, budaya tulis menulis sudah ada semenjak
Islam datang, pastinya kita tahu ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT, yakni “Iqro” bacalah.
Menurut Wahbah Zuhaili, ia menggambarkan bahwa nilai normatif pada ayat ini,
lebih mengajak manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Kita tahu
bahwa Rasulullah SAW termasuk golongan orang yang umm (tak bisa membaca
dan menulis), namun tujuan ayat pertama tersebut bukan menghina atau melecehkan
Rasulullah. Tapi, justru Allah membuktikan bahwa manusia itu mempunyai ‘akal’
yang menjadikannya lebih bernilai dibanding makhluk-Nya yang lain. Dalam ayat
ini, Tuhan menyebutkan kata iqra’ pada awal surat, kemudian dikaitkan
dengan ayat yang lain yaitu, ‘allama bi al-qalam (yang mengajari dengan
qalam (menulis). Dalam pandangan beliau (Wahbah), sandingan ini memiliki
kekuatan yang sangat penting bagi
manusia, yakni disamping Allah memerintahkan manusia untuk mambaca, juga
memerintahkan untuk menulis.
So, kepenulisan sangat berkembang pada masa
Rasulullah, bahkan Rasulullah sendiri sering mengajarkan kepada para shahbat
tentang pentingnya membaca dan menulis. Ketika ia belum genap satu tahun Hijrah
di Yatsrib (sekarang Madinah), beliau menulis sebuah karya tulisan yang sangat
dahsyat pengaruhnya. Tahukah apa itu? Ya, Piagam Madina, sungguh luar biasa
jika kita baca isi dari piagam beliau. Dalam piagam tersebut terdapat
aturan-aturan hubungan atara kaum Muhajirin(Makkah) bersama kaum Anshar
(Madinah), begitu juga hubungan antara keduanya dengan kaum Yahudi.
Berlanjut pada tradisi tulis menulis pada masa periode
awal para shahabat Rasul, ada yang tahu
Zaid bin Tsabit? Ya dialah pelopor
penulisan. Ketika Umar bin Khattab RA merasa gelisah, karena banyak para
penghafal Al-Qur’an yang syahid di peprangan, ia takut Al-Qur’an menghilang
beriringan syahidnya para huffadz. Akhirnya dengan kesepakatan Umar bin Khattab
dan Abu Bakar Shiddiq, mereka menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan
menuis ulang Al-Qur’an untuk dibukukan. Kita bisa baca Al-qur’an dengan mudah
karena beliau mengumpulkan Al-Qur’an
menjadi satu.
Disamping itu, kegiatan tulis-menulis para shahabat
sebenarnya hanya masih berkutat dengan hadits-hadits nabi saja yang pernah
mereka dengar, dan mereka menuliskannya dalam bentuk catatan-catatan pribadi
saja. Diantara shahabat-shahabat beliau yang mempunyai catatan pribadi ialah
Ali bin Abi Thalib KW. Menurut riwayat
al-Bukhari, Abu Dawud dan lain-lain, suatu ketika Ali pernah ditanya,
"Apakah anda memiliki ilmu pengetahuan dari Nabi SAW, yang tidak diketahui
oleh sahabat lain?" Ali menjawab, "Tidak. Demi Tuhan yang menciptakan
jiwa dan membelah biji, aku tidak memiliki pengetahuan khusus dari Nabi SAW,
kecuali pemahaman terhadap al-Qur'an yang diberikan oleh Allah kepada seseorang
dan kecuali dalam catatan (Shahifah) ini." Dia ditanya lagi, "Apa isi
catatan itu?" Ali menjawab, "Penebusan tawanan, seorang Muslim tidak
boleh diqisas karena membunuh orang kafir dan diyat 'aqilah."
Tradisi tulis menulis dalam bentuk catatan pribadi
tersebut semakin berkembang pada msa tabi’in, baik dari segi kualitasnya
maupun segi kuantitasnya, pada generasi ini tidaka saja berkutat pada
hadits-hadits Nabi saja, tetapi mereka mulai menjamah obyek-obyek lain dalam
ilmu pengetahuan Islam seperti fiqih, sejarah, terutama sirah (sejarah)
dan maghazi (sejarah peperangan Nabi SAW). Misalnya Urwah bin Zubair bin
Awwam, contoh konkretnya ialah dalam pernyataan beliau yaitu “Kami dulu berpendapat, tidak akan menulis kitab bersama dengan
kitab Allah, sehingga aku menghapus semua kitab-kitabku. Demi Allah! Senang
sekali rasanya, andaikan kitab-kitabku itu masih ada, tidak aku hapus." Nah,, kitab yang dia tulis yaitu tentang
kitab-kitab fiqih.
Secara historis, corak tuisan para ulama masa tabi’in
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan tulisan pada masa shahabat yang isinya
merupakan catatan pribadi mereka namun lebih melebar ke bidang ilmu fiqih,
sirah dan maghazi, tentu saja dalam bidang hadits. Hasil karya tulisan mereka
hanyalah sebagai dokumen pribad saja, tidak dikonsumsi oleh khalayak. Tradisi
tulis menulis ilmiyyah dalam Islam menemukan jati dirinya yang bersifat
metodologis dan disebar pada khalayak umum itu terjadi pada periode ketiga
Islam, yakni masa tabi’ tabi’in, yakni generasi para ulama seperti Imam
Abu Hanifah. Adapun para ulama yang menulis secara ilmiah pada periode ini
sangatlah banyak, misalnya saja al-Imam
Abu al-Walid Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij al-Makki, ia meupakan pakar hukum dan juga pengajar
di Masjidil Haram, ia banyak menulis karya-karya ilmiah di Makkah. Pada saat
itu juga tampil, para ulama yang menulis berbagai disiplin ilmu, baik itu di
bidang hadits, fiqih dan lain sebagainya, misakan saja Malik bin Anas, ia
merupakan penulis kitab al-Muwaththa’ dan ar-Risalah, Abdurrazaq bin Humam bin
Nafi’ al-Shan’ani al-Himyari, ia juga menulis al-Sunan dalam bidang Fiqih,
Tafsir Al-Qur’an al-Karim dan lain sebagainya.
Wahh, hebat ya! Lalu bagaimana dengan keadaan kita
sekarang? Perkembangan pengetahuan muslim sekarang, khususnya di Indonesia
belum mampu mecapai titik optimal. Padahal jika kita lihat kegigihan para ulama
terdahulu dalam menghasilkan sebuah karya sangatlah susah, dengan kondisi tak
serba ada seperti zaman sekarang mereka mampu menghasilkan karya yang banyak
dan juga tentunya bermanfaat untuk khalayak.
Nah,, kawan! Seharusnya jika kita mengaca pada para
shahabat dan para ulama, sudah saatnya literasi Islam kembali bangkit
memberikan nilai positif bagi dunia literature yang ada, kita jangan hanya
memakan hasil karya orang lain saja.
Ingat! Menulis tidak mengenal profesi. Apapun profesi
seseorang, dia memiliki nilai plus jika ia memiliki keahlian menulis. Seperti
halnya Darwin yang merupakan seorang naturalis. Walaupun banyak naturals di
dunia, tetapi Darwin mampu lebih unggul karena ia mampu menuangkan ide
pemikirannya ke dalam tulisan. Oleh karena itu, mari kita bangun peradaban
dengan tulisan!.
Komentar
Posting Komentar